Pengertian al-Din, dan Konsep al-Din Menurut al-Quran
Menurut bahasa Indonesia al-dīn
diartikan dengan “agama”. Sedangkan term al-dīn secara redaksional dalam
bahasa al-Quran, identik dengan term millah.
Term al-dīn merupakan bentuk mashdar
dari kata dāna-yadīnu, yang secara generik tanpa memperhitungkan
kata jadiannya disebut sebanyak 93 kali dalam al-Quran. Selanjutnya, term al-dīn
dalam bentuk fi’il (dāna- yadīnu) dan dalam bentuk ism yang
di-idhāfat-kan dengan selainnya seperti; dīnukum, dīnihi, dīnahum,
dīnī terungkap dalam al-Quran sebanyak 36 kali. Dengan demikian, term-term al-dīn
dan derivasinya tersebut, terungkap di dalam al-Quran sebanyak 129 kali.
Mengenai term millah dalam
al-Quran,baik yang di-idhāfah-kan atau tidak, disebut 15 kali. Millah
menurut bahasa sebagai sunnah (sistem) dan tharīqah (cara).
Menurut al-Rāghib al-Ashfāni, pengertian millah dengan al-dīn adalah
sama dan di sisi lain, ada juga perbedaannya. Dalam hal ini, ia menjelaskan
secara komprehensif bahwa;
الملّة كالدين، وهو اسم لما شرع الله
تعالى لعباده على لسان الأنبياء ليوصلوا به إلى جوار الله، والفرق بينهما وبين
الدين أن الملّة لا تضاف إلا إلى النبي عليه الصلاة والسلام الذي تسند إليه. نحو :
"فَاتَّبِعُوْا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ" ولا تكاد توجد مضافة إلى الله،
ولا إلى آحاد أمة النبي ولا تستعمل إلا فى حملة الشرائع دون آحادها، لا يقال :
ملّة الله، ولا يقال ملّتى وملة زيد، كما يقال دين الله زدين زيد
Artinya: Al-Millah sama
dengan al-dīn, yaitu nama bagi apa yang disyariatkan oleh Allah terhadap
hamba-hamba-Nya melalui para nabi guna men-dekatkan mereka kepada Allah. Antara
millah dan al-dīn masih dapat dibedakan. Millah tidak
pernah dirangkaian dengan kata selain nama nabi, seperti ittabiū millata
ibrāhīma (ikutilah agama Ibrahim). Kata millah juga tidak pernah
dirangkaikan dengan Allah. Kata itu hanya digunakan untuk orang-orang yang
membawa syariat. Oleh karena itu, tidak pernah dikatakan millah Allah, millatī
atau millah Zaid, sebagai mana dikatakan dīnullāh (dīn Allah)
dan dīn Zaid.
Al-Millah yang bila dikaitkan dengan al-dīn, mengandung rumusan
bahwa kedua term ini diterminologikan sebagai syariat yang bersumber dari Allah
(baca; agama samawi).
Upaya pendefinisian kembali
pengertian al-dīn menurut perspektfif al-Quran, terlebih dahulu perlu
ditelusuri aspek morfologisnya. Dalam hal ini, al-dīn berasal dari kata dayana,
yadīnu kemudian dibaca dāna, yadīnu.
Dāna (دَانَ) yang arti dasarnya “hutang” adalah sesuatu yang
harus penuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-tashrīf melahirkan
kata dīn (ديْنٌ) “agama” adalah sesuatu undang-undang atau hukum yang
harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang
akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau
balasan, jika tidak ditunaikan.
Kata al-dīn menurut pandangan
sejarah agama-agama mempunyai dua makna, yaitu makna subyektif dan makna
obyektif. Makna yang disebut oertama adalah makna yang diberikan oleh ilmuan
dan pemikir yang menganut al-dīn (agama tertentu). Sedang makna yang
disebut kedua adalah makna yang berkaitan dengan adat istiadat, baik yang
berasal dari luar maupun dari dalam, berupa pengaruh-pengaruh yang ada atau
riwayat-riwayat yang diwarisi. Karena itulah, maka makna yang disebut kedua
mencakup semua prinisp yang dianut sesuatu umat sebagai pola kehidupan, baik
yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan maupun yang berhubungan
dengan sikap dan tingkah laku serta amal perbuatan mereka sehari-hari.
berdasarkan makna yang yang disebut kedua, pihak Islam (Arab) dan pihak Barat (al-garbiyun)
seapakat memberi makna terjadap kata al-dīn sebagai religion.
Fungsi dan Tujuan al-Dīn Menurut
al-Quran
Dari sederetan ayat al-Quran yang
penulis telusuri, ditemukan beberapa ayat yang terkait dengan fungsi dan tujuan
al-dīn diturunkan oleh Allah swt. Namun, sebelum dijelaskan lebih
lanjut, maka terlebih penulis menetapkan batasan bahwa yang dimaksud al-dīn di
sini adalah “al-Dīn al-Islām” itu sendiri.
1. Fungsi al-Dīn
Antara lain ayat-ayat yang secara
tematik berbicara tentang fungsi al-dīn adalah QS. al-Tawbah: 9/33; QS.
al-Shaf: 61/9. Kedua ayat ini, memiliki redaksi yang “persis sama”, yakni:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ
بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ
الْمُشْرِكُونَ
Terjemahnya: Dialah yang telah
mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar
untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak
menyukai.
Kedua ayat yang disebutkan ini,
menjelaskan bahwa Nabi saw diutus oleh Allah bersama dengan petunjuk al-Quran
dan “al-dīn” yang benar untuk mengalahkan agama-agama lain, sekalipun
orang musyrik mem-bencinya. Keterkaitan (munāsabah) kedua ayat yang
redaksinya “persis sama” ini, akan dapat dibedakan interpretasinya kalau
keduanya dikaitkan dengan ayat berikutnya masing-masing.
Dalam QS. al-Tawbah: 9/34,
dijelaskan sifat dan sikap orang-orang Yahudi dan Nashrani yang cenderung
memakan harta orang secara bathil yang dikaitkan dengan balasan dari perbuatan
yang mereka lakukan. Sedang QS. al-Shaf: 61/10, membicarakan kepada orang-orang
yang beriman perniagaan yang dapat menyelematkan mereka dari azb (siksa) yang
pedih. Dari sini dapatlah ditemukan persamaan dan perbedaan kedua ayat tersebut.
Persamaannya adalah, masing-masing
menjelaskan bahwa fungsi agama adalah sebagai “الهدي” yakni petunjuk dan atau
pembimbing ke jalan yang benar. Sedangkan perbedaannya adalah, terletak pada
obyeknya masing-masing. Ayat pertama menonjolkan sifat dan sikap buruk
orang-orang musyrik, dan ayat kedua menonjolkan sifat dan perbuatan orang-orang
yang beriman. Maksudnya, orang-orang musyrik selalu berbuat buruk dan kelak
mereka diazab karena keenggangannya menerima al-dīn. Sedangkan orang
beriman selalu berbuat baik, misalnya dalam berniaga dan kelak mereka terbebas
dari azab karena mereka menerima al-dīn.
2. Tujuan al-Dīn
Dengan merujuk pada term al-Islam
itu sendiri, maka dipastikan bahwa al-dīn bertujuan untuk memberi
“keselamatan”, “kesejahteraan”, dan “kedamaian” yang abadi kepada penganutnya.
Dalam QS. al-Nah: 16/97 Allah swt berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Terjemahnya: Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.
Dalam ayat di atas, memang tidak
ditemukan kata al-dīn atau al-islām, namun kata mu’min dalam
ayat tersebut menunjuk kepada “orang yang beriman kepada al-dīn yang
diturunkan Allah”. Adapun tujuan al-dīn bagi pemeluknya dalam ayat
tersebut adalah untuk menggapai “حَيَاةً طَيِّبَةً” dan balasan amal yang lebih
baik. Untuk sampai ke tujuan ini, maka haruslah melakukan “عَمِلَ صَالِحًا”
sebagaimana yang termaktub pada awal ayatnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibn Fāris bin Zakariyah, Mu’jam
Maqāyis al-Lugah, juz V. Mesir: Musthāfa al-bābi al-Syarikat, 1970. Lihat
juga Louis Ma’lūf, al-Munjid fī al-Lughah Bairūt: Dār al-Masyriq, 1977.
Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān, Damsyiq: Dār
al-Qalam, 1992. H.M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm; Tafsir atas
Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah,
1997. Muhammad Abdullah Darrās, al-Dīn Bairūt: Dār Mathba’ah
al-Hurriyat, 1974. A. Mukti Ali, Agama Uinversal, bandung: Badan Penerbit
IKIP, 1971. Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992. Abd. Muin Salim, Jalan Lurus Menuju
Hati Sejahtera, Jakarta: Yayasan Kalimah, 1999. Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1988. Asad M. Alkalili, Kamus Indonesia Arab, Jakarta:
Bulan Bintang: 187. Abd. Qadir Ahmad ‘Athā, Tafsīr Abī al-Su’ūd, juz II
Royād: Maktabah al-Riyād al-Hadīśah, 1982. al-hakim Thanthawi al-jauhari, al-Jwāhir
fī Tafsīr al-Qu’ān al-karīm, juz V Mesir: Musthāfa al-Bābi
al-halabi, 1971. Mushthāfa al-Marāgiy, tafsīr al-Marāgiy, juz X, Mesir:
Syarikat Maktabat wa Mathba’at al-Mushthāfa al-Bābiy al-Halabi wa Awlāduh,
1380H/ 1971 M. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya
Agung, 1992. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1987. Abd. Muin Salim, Fitrah Manusia dalam Al-Quran Ujungpandang:
LSKI, 1990. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam
Al-Quran, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992.
EmoticonEmoticon