PENGERTIAN AL-DIN

8:39 PM



Pengertian al-Din, dan Konsep al-Din Menurut al-Quran



Menurut bahasa Indonesia al-dīn diartikan dengan “agama”. Sedangkan term al-dīn secara redaksional dalam bahasa al-Quran, identik dengan term millah.
Term al-dīn merupakan bentuk mashdar dari kata dāna-yadīnu, yang secara generik tanpa memperhitungkan kata jadiannya disebut sebanyak 93 kali dalam al-Quran. Selanjutnya, term al-dīn dalam bentuk fi’il (dāna- yadīnu) dan dalam bentuk ism yang di-idhāfat-kan dengan selainnya seperti; dīnukum, dīnihi, dīnahum, dīnī terungkap dalam al-Quran sebanyak 36 kali. Dengan demikian, term-term al-dīn dan derivasinya tersebut, terungkap di dalam al-Quran sebanyak 129 kali.
Mengenai term millah dalam al-Quran,baik yang di-­idhāfah-kan atau tidak, disebut 15 kali. Millah menurut bahasa sebagai sunnah (sistem) dan tharīqah (cara). Menurut al-Rāghib al-Ashfāni, pengertian millah dengan al-dīn adalah sama dan di sisi lain, ada juga perbedaannya. Dalam hal ini, ia menjelaskan secara komprehensif bahwa;
الملّة كالدين، وهو اسم لما شرع الله تعالى لعباده على لسان الأنبياء ليوصلوا به إلى جوار الله، والفرق بينهما وبين الدين أن الملّة لا تضاف إلا إلى النبي عليه الصلاة والسلام الذي تسند إليه. نحو : "فَاتَّبِعُوْا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ" ولا تكاد توجد مضافة إلى الله، ولا إلى آحاد أمة النبي ولا تستعمل إلا فى حملة الشرائع دون آحادها، لا يقال : ملّة الله، ولا يقال ملّتى وملة زيد، كما يقال دين الله زدين زيد
Artinya: Al-Millah sama dengan al-dīn, yaitu nama bagi apa yang disyariatkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya melalui para nabi guna men-dekatkan mereka kepada Allah. Antara millah dan al-dīn masih dapat dibedakan. Millah tidak pernah dirangkaian dengan kata selain nama nabi, seperti ittabiū millata ibrāhīma (ikutilah agama Ibrahim). Kata millah juga tidak pernah dirangkaikan dengan Allah. Kata itu hanya digunakan untuk orang-orang yang membawa syariat. Oleh karena itu, tidak pernah dikatakan millah Allah, millatī atau millah Zaid, sebagai mana dikatakan dīnullāh (dīn Allah) dan dīn Zaid.
Al-Millah yang bila dikaitkan dengan al-dīn, mengandung rumusan bahwa kedua term ini diterminologikan sebagai syariat yang bersumber dari Allah (baca; agama samawi).
Upaya pendefinisian kembali pengertian al-dīn menurut perspektfif al-Quran, terlebih dahulu perlu ditelusuri aspek morfologisnya. Dalam hal ini, al-dīn berasal dari kata dayana, yadīnu kemudian dibaca dāna, yadīnu.
Dāna (دَانَ) yang arti dasarnya “hutang” adalah sesuatu yang harus penuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-tashrīf melahirkan kata dīn (ديْنٌ) “agama” adalah sesuatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak ditunaikan.
Kata al-dīn menurut pandangan sejarah agama-agama mempunyai dua makna, yaitu makna subyektif dan makna obyektif. Makna yang disebut oertama adalah makna yang diberikan oleh ilmuan dan pemikir yang menganut al-dīn (agama tertentu). Sedang makna yang disebut kedua adalah makna yang berkaitan dengan adat istiadat, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam, berupa pengaruh-pengaruh yang ada atau riwayat-riwayat yang diwarisi. Karena itulah, maka makna yang disebut kedua mencakup semua prinisp yang dianut sesuatu umat sebagai pola kehidupan, baik yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan maupun yang berhubungan dengan sikap dan tingkah laku serta amal perbuatan mereka sehari-hari. berdasarkan makna yang yang disebut kedua, pihak Islam (Arab) dan pihak Barat (al-garbiyun) seapakat memberi makna terjadap kata al-dīn sebagai religion.
Fungsi dan Tujuan al-Dīn Menurut al-Quran
Dari sederetan ayat al-Quran yang penulis telusuri, ditemukan beberapa ayat yang terkait dengan fungsi dan tujuan al-dīn diturunkan oleh Allah swt. Namun, sebelum dijelaskan lebih lanjut, maka terlebih penulis menetapkan batasan bahwa yang dimaksud al-dīn di sini adalah “al-Dīn al-Islām” itu sendiri.
1. Fungsi al-Dīn
Antara lain ayat-ayat yang secara tematik berbicara tentang fungsi al-dīn adalah QS. al-Tawbah: 9/33; QS. al-Shaf: 61/9. Kedua ayat ini, memiliki redaksi yang “persis sama”, yakni:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Terjemahnya: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Kedua ayat yang disebutkan ini, menjelaskan bahwa Nabi saw diutus oleh Allah bersama dengan petunjuk al-Quran dan “al-dīn” yang benar untuk mengalahkan agama-agama lain, sekalipun orang musyrik mem-bencinya. Keterkaitan (munāsabah) kedua ayat yang redaksinya “persis sama” ini, akan dapat dibedakan interpretasinya kalau keduanya dikaitkan dengan ayat berikutnya masing-masing.
Dalam QS. al-Tawbah: 9/34, dijelaskan sifat dan sikap orang-orang Yahudi dan Nashrani yang cenderung memakan harta orang secara bathil yang dikaitkan dengan balasan dari perbuatan yang mereka lakukan. Sedang QS. al-Shaf: 61/10, membicarakan kepada orang-orang yang beriman perniagaan yang dapat menyelematkan mereka dari azb (siksa) yang pedih. Dari sini dapatlah ditemukan persamaan dan perbedaan kedua ayat tersebut.
Persamaannya adalah, masing-masing menjelaskan bahwa fungsi agama adalah sebagai “الهدي” yakni petunjuk dan atau pembimbing ke jalan yang benar. Sedangkan perbedaannya adalah, terletak pada obyeknya masing-masing. Ayat pertama menonjolkan sifat dan sikap buruk orang-orang musyrik, dan ayat kedua menonjolkan sifat dan perbuatan orang-orang yang beriman. Maksudnya, orang-orang musyrik selalu berbuat buruk dan kelak mereka diazab karena keenggangannya menerima al-dīn. Sedangkan orang beriman selalu berbuat baik, misalnya dalam berniaga dan kelak mereka terbebas dari azab karena mereka menerima al-dīn.
2. Tujuan al-Dīn
Dengan merujuk pada term al-Islam itu sendiri, maka dipastikan bahwa al-dīn bertujuan untuk memberi “keselamatan”, “kesejahteraan”, dan “kedamaian” yang abadi kepada penganutnya. Dalam QS. al-Nah: 16/97 Allah swt berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Terjemahnya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Dalam ayat di atas, memang tidak ditemukan kata al-dīn atau al-islām, namun kata mu’min dalam ayat tersebut menunjuk kepada “orang yang beriman kepada al-dīn yang diturunkan Allah”. Adapun tujuan al-dīn bagi pemeluknya dalam ayat tersebut adalah untuk menggapai “حَيَاةً طَيِّبَةً” dan balasan amal yang lebih baik. Untuk sampai ke tujuan ini, maka haruslah melakukan “عَمِلَ صَالِحًا” sebagaimana yang termaktub pada awal ayatnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibn Fāris bin Zakariyah, Mu’jam Maqāyis al-Lugah, juz V. Mesir: Musthāfa al-bābi al-Syarikat, 1970. Lihat juga Louis Ma’lūf, al-Munjid fī al-Lughah Bairūt: Dār al-Masyriq, 1977. Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān, Damsyiq: Dār al-Qalam, 1992. H.M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Muhammad Abdullah Darrās, al-Dīn Bairūt: Dār Mathba’ah al-Hurriyat, 1974. A. Mukti Ali, Agama Uinversal, bandung: Badan Penerbit IKIP, 1971. Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992. Abd. Muin Salim, Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera, Jakarta: Yayasan Kalimah, 1999. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Asad M. Alkalili, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang: 187. Abd. Qadir Ahmad ‘Athā, Tafsīr Abī al-Su’ūd, juz II Royād: Maktabah al-Riyād al-Hadīśah, 1982. al-hakim Thanthawi al-jauhari, al-Jwāhir fī Tafsīr al-Qu’ān al-karīm, juz V Mesir: Musthāfa al-Bābi al-halabi, 1971. Mushthāfa al-Marāgiy, tafsīr al-Marāgiy, juz X, Mesir: Syarikat Maktabat wa Mathba’at al-Mushthāfa al-Bābiy al-Halabi wa Awlāduh, 1380H/ 1971 M. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Abd. Muin Salim, Fitrah Manusia dalam Al-Quran Ujungpandang: LSKI, 1990. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »